Tampilkan postingan dengan label Coba Tunjuk Satu Bintang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Coba Tunjuk Satu Bintang. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 November 2013

kumpulan resensi novel terbaru Novel Negeri 5 Menara, Coba Tunjuk Satu Bintang,Memorabilia dalam Keabadian


Resensi Novel negeri 5 menara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Pertama Terbit: 2010
Jumlah Halaman: 424

Novel yang satu ini bisa dikatakan novel religious kontemporer bertemakan pendidikan yang paling laris dicari pembaca. Novel Negeri 5 Merupakan rangkaian pertama dari trilogy karya A. Fuadi ini. Secara umum, sang penulis mengisahkan pegalaman hidup lima orang pemuda yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren terkenal beranama Pesantren Madani atau PM. Kelima tokoh utama tersebut adalah Alif Fikri yang berasal dari Padang, Atang yang berasal dari Bandung Jawa Barat, Raja dari Medan, Dulmajid yang datang dari daerah Sumenep, Said dari kota Mojokerto, dan terakhir Baso yang berasal dari sebuah tempat di Sulawesi Selatan bernama Gowa. Kelima sahabat ini bersama-sama mengarungi kehidupan pendidikan di Pesantren Madani baik itu riang dan gamang, asam dan manis.

Pada mulanya, sang tokoh Alif ingin menjadi sosok intelek seperti Habibie. Ia mengingkan bersekolah di SMA Bukittinggi demi mencapai cita-citanya. Sayangnya, Amak, orang tua Alif tidak mengijinkan hal tersebut. Ia menginginkan Alif menjadi seorang ustad atau pemuka agama sehingga ia berpikir menyekolahkannya di pondok pesantren. Alif sebenarnya berberat hati, tapi pada akhirnya ia menuruti Amak-nya dan melanjutkan pendidikan di Pesantren Madani. Pada mulanya, Alif begitu kaget menjumpai kehidupan di dalam pondok pesantren yang begitu disiplin. Namun seiring berjalannya waktu, ia kemudian ikut lebur di dalamnya bersama sahabat-sahabatnya yang lain. Mereka semua percaya pada sebuah mantra: Man Jadda Wajada yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Menurut beberapa pengamat, penulis novel Negeri 5 Menara ini berhasil menggambarkan suasana modern di dalam pesantren yang selama ini dianggap kuno dan kaku serta tidak menarik. Paham mengenai pesantren yang hanya mengajarkan persoalan agama juga seolah hendak dikikis sang penulis. Di dalam novel ini secara tersirat ia memperlihatkan sisi modern pesantren dengan mengisahkan mereka belajar soal seni, bahasa dan juga kewajiban berbahasa Inggris yang tak bisa ditolerir. Sang penulis juga dinilai cerdas menitip kisah humor yang membuat novel berat ini agak sedikit ringan dan renyah untuk dinikmati.

Novel ini banyak dinilai masuk ke dalam novel motivasi seperti Laskar Pelangi milik Andrea Hirata. Banyak yang mengecualikannya dari novel sastra mengacu pada penggunakan kalimat dan gaya bercerita sang penulis yang kurang menggunakan unsur alegori di dalamnya. Meski demikian, novel yang satu ini masuk ke dalam jajaran Best Seller dan berhasil merubah paradigma salah mengenai dunia pesantren. Novel ini direkomendasikan bagi siapapun yang sedang ada di dalam proses untuk mewujudkan cita-cita. Resensi novel Negeri 5 Menara ini hanya mengisahkan sebagian kecil cerita yang tersimpan di dalamnya.

Sekian dan terima kasih

Coba Tunjuk Satu Bintang
Adakah Tuhan sedang memberi jeda untuk kita atau memang tak ada nama kita dalam takdir-Nya?

Menjalani hari bersamamu begitu menyenangkan. Tidak ada yang lebih daripada dirimu yang aku inginkan. Kita tenggelam dalam riuhnya impian, hingga baru tersadar setibanya di persimpangan. Aku dan kamu berbeda tujuan.

Namun, kita sama-sama ragu apakah perpisahan yang benar-benar kita inginkan. Kita memutar arah, berusaha kembali dari sudut yang berseberangan.

Mungkin kita bisa bertemu kembali di ujung jalan yang sama. Mungkin kita bisa merajut kembali mimpi yang tertunda.

Kalau saja belum ada dia...
 
Pengarang: Sefryana Khairil
Editor: Mita M. Supardi
Proofreader: Jumali Ariadinata
Penata letak: Gita Ramayudha
Desainer sampul: Amanta Nathania
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 210 hlm + vi
Harga: Rp40.000
  
Astronomi dan rasi bintang menjadi latar belakang kisah cinta sejati ini. Dua tokoh utamanya menyukai bidang tersebut. Bahkan, konflik utama sehingga kisahnya mengalir sebagaimana dirangkai sang pengarang di novel ini juga karena bidang itu. Cukup menarik. Pembaca disuguhi wawasan seputar benda angkasa melalui jalinan memori dan dialog dari hati ke hati kedua tokoh utamanya, meskipun baru sebatas nama dan sedikit karakteristik dari benda-benda angkasa tersebut.

Dalam novel ini dikisahkan bahwa pada suatu kali Dio lebih memilih mengejar mimpinya tepat ketika ia dengan sadar merencanakan sebuah pernikahan dengan Marsya yang akan dihelat beberapa saat lagi. Saya sempat tercenung pada bagian ini. Mungkin, hal semacam ini pun akan terjadi dalam kehidupan nyata. Tapi tetap saja, saya merasa kok semudah itu mengingkari sebuah kesepakatan pernikahan? Yah, kalau di kehidupan nyata di sekitar saya, beberapa teman memilih menikah dulu meskipun kemudian mereka terpisah, toh ada bermacam teknologi yang bisa tetap membuat mereka bisa terus berhubungan, tapi intinya mereka tetap berkomitmen dalam biduk rumah tangga. Apalagi dalam cerita ini keduanya digambarkan menyukai bidang yang sama, berarti Marsya seharusnya memahami keputusan perginya Dio, tapi Dio pun tetap bisa bertanggung jawab, nggak asal pergi begitu saja. Tapiiii... kalau nggak gitu jadi nggak ada konfliknya donk...
Hal lain yang juga menggiring saya untuk bertanya adalah dengan peristiwa sedahsyat itu kok saya kurang merasa ‘perih’ sebagaimana yang dialami Marsya, ya? Iya, dia digambarkan sengsara tapi itu masih kurang atau bahkan tidak menggambarkan perasaan terguncang akibat rencana pernikahan yang sudah dirancang sebegitu matang, gagal seolah hanya dengan menjentikkan jari saja. Dan, sekali Dio datang, sudah... semua kembali tenang. Cinta pun menyatu. Terasa begitu mudah. Terasa... tak pernah ada luka di sana. Entahlah, apakah saya yang terlalu sinis atau bagaimana, namun ini menjadi terlalu ideal, buat saya.

Saya pemuja cinta sejati. Saya sering dibuat heran betapa cepatnya seseorang menautkan cinta pada satu hati ke hati yang lain. Tapi, kehidupan memang begitu, kan? Nothing is impossible. Jadi, ya sudahlah. Saya adalah saya. Cinta sejati tetap saya puja. Begitupun nanti, ketika saya benar-benar menemukan cinta, saya akan menjaganya selayaknya cinta sejati. Cinta yang ditakdirkan hanya untuk saya. Sayangnya, saya tak sependapat dengan ‘cinta sejati’ yang saya kira menjadi pondasi cerita novel ini. Entahlah, mungkin kembali ke pribadi saya yang lebih memilih melupakan ‘tragical moment’ dan move on mencari cinta lain karena sekali disakiti saya percaya ‘dia’ memiliki kesempatan untuk menyakiti saya kembali di lain waktu. Dan, Marsya seolah tak punya rasa sakit itu. Well, apakah saya seorang pendendam? Tergantung penilaian Anda. Saya pribadi tak merasa begitu. Tapi, saya memang berprinsip seperti yang saya sebutkan tadi: tak pernah ada kesempatan kedua untuk seseorang yang sudah melakukan kesalahan sebesar itu. Just leave it and move on.

Membaca novel ini lagi-lagi saya terganjal beberapa hal karena sekelebatan kemiripan dengan satu-dua keadaan (penting) pada novel Melbourne-nya Winna Efendi dan film Ada Apa Dengan Cinta. I know, I know, I shhouldn’t compare these two things, but I can’t help myself. Duh! Semoga kalian tak mengalami deja vu sesaat ketika membaca bagian-bagian itu di novel ini. Ohiya, sebagaimana Cintapuccino-nya Icha Rahmanti di mana saya menjadi #TeamAdit di sini saya pun lebih memilih menjadi #TeamAndro: “klub pemilik cinta yang tulus namun tak berbalas dan di-PHP-in saja”.

Laporan typo:
(hlm. 46) saling berpandangan = saling memandang = berpandangan

(hlm. 51) di maksud = dimaksud (gabung)

(hlm. 63) dipindah tugaskan = dipindahtugaskan (gabung)

(hlm. 68) memterbuka = terbuka

(hlm. 73) antaruang = antarruang

(hlm. 79) Sekali pun = Sekalipun

(hlm. 88) dimasukin-ya = dimasuki-nya

(hlm. 97) Kimy = Kimmy

(hlm. 100) risih = risi

(hlm. 106) ter-ik = te-rik

(hlm. 110) mendegus?

(hlm. 110) denga = dengan

(hlm. 116) mer-eka = me-reka = mere-ka

(hlm. 119) menjentikan = menjentikkan

(hlm. 124) terlanjur = telanjur

(hlm. 135) Masya = Marsya

(hlm. 135) ditentengya = ditentengnya

(hlm. 147) perseneling = persneling

(hlm. 148) ditelinganya = di telinganya

(hlm. 201) berterbangan = beterbangan

Agak aneh:
1.       Mungkin karena kultur, saya kurang nyaman orangtua disebut namanya langsung, bukan dengan sebutan “Bapak/Ayah” atau “Mama/Ibu”. Di sini ibu Marsya cukup ditulis menjadi Fera.
2.       (hlm.31) “Dio bilang pesawatnya tiba pukul sepuluh, tapi sekarang sudah pukul satu sebelas lewat.” ---ini hanya kegagalan saya memahami apa maksud kalimat ini. Apakah saat itu “pukul satu lebih dua belas menit” karena kata ”sebelas lewat” atau sebenarnya hanya mau menggambarkan bahwa saat itu sudah pukul “sebelas lewat” saja?
3.       (hlm. 76) Dio—paling—paling tidak, bisa berteman—tapi—tapi—
4.       Catatan buat diri sendiri: (hlm. 91) Dermaga Marina di sini adalah di Manado (berada di belakang Marina Plaza) bukan Marina Ancol.
5.       (hlm.95) ...berenang bersama-sama, melihat terdapat berbagai...
6.       (hlm. 95) ...medan wall salah satu membuat mereka takjub berhadapan dengan sebuah...
7.       Penggunaan memberitahu dan memberi tahu yang tidak konsisten
8.       Penggunaan lenggang dan lengang yang tidak konsisten
9.       (hlm. 155) Rama mengajak Kimmy untuk di pinggir pantai...

Sebenarnya, novel ini ditulis dengan begitu manis. Saya selalu suka membaca novel romance yang ditulis lembut, sedikit mendayu, santun, dengan diksi yang bagus. Seolah-olah saya sedang mendapat treatment pijat refleksi. Damai. Menenangkan. Namun, sayang, mungkin karena terlalu tipisnya novel ini serta beberapa hal yang secara pribadi tidak masuk dalam selera, saya cenderung sinis ketika membaca novel ini. Mohon maaf.


(MEMORI) CINTA YANG ABADI

Judul           : Memorabilia dalam Keabadian
Penulis        : Laila Nurazizah
Penerbit      : Matapena
Tahun          : I, Juli 2010
Tebal           : VIII + 152 Halaman
ISBN          : 979-25-5316-9

“Kenapa kita punya rasa rindu? Karena kita mengingat memori dan membuat kita merindukan memori itu. Lalu, bagaimana kalau kita tidak punya memori?” (halaman 109).

Perjalanan kisah romansa saat remaja sangat menarik untuk diingat dan diputar kembali. Kehidupan remaja mungkin menjadi kenangan yang paling berkesan. Apalagi kenangan itu berbumbu dengan percintaan. Dan tentunya setiap orang memiliki pengalaman memori yang berbeda.

Sekalipun itu hanya memori, tetapi jika menyangkut perasaan tentu itu merupakan hal yang sangat berkesan. Cerita romansa remaja itu akan kita dapatkan dalam novel bertajuk “Memorabilia dalam Keabadian”. Dari judul saja kita dapat menerka isi atau cerita dari novel yang satu ini. Tentu menyangkut kenangan (memori) percintaan seorang remaja.
Dalam menjalani cerita percintaan tentu tak selamanya manis dan penuh bunga keindahan. Tapi juga tak selamanya terus menyakitkan dan penuh derita. Namun, akhir dari sebuah percintaan mungkin rasa yang paling pahit.
Dan hal itulah yang dirasakan oleh Sekar. Sekar merupakan sosok perempuan yang selalu memutarkan memori-memori kehidupan percintaannya. Seolah dia enggan untuk melepas memori tersebut. Perempuan kelas XII ini juga harus menerima kekasihnya berpaling kepada perempuan lain. Hal yang lebih menyakitkan justru pacarnya selingkuh dengan sahabat dekatnya.
Namanya adalah Lara. Satu sisi Lara terjebak dalam kubangan perasaan cinta. Lara tak mau kehilangan sosok pria bernama Rama. Saat bersamaan, dia merasa sangat bersalah karena telah mencintai pria yang juga dicintai sahabatnya, Sekar. Padahal, sebelumnya, mereka bagaikan keluarga. Mereka saling tertawa bersama saat di ruang kelas. Kemana-mana selalu bersama. Saat Sekar menjalin kasih dengan Rama, Lara memang sudah merasa iri melihat kemesraan mereka berdua.
Saat ini yang tersisa dan dimiliki Sekar adalah memori dan sebuah boneka lucu pemberian Rama. Saat itulah perempuan puitis ini tidak dapat melepaskan memori indah saat bersama Rama. Dan tentunya, mengunjungi tempat-tempat favorit saat berdua, salah satunya adalah sebuah kafe yang terletak di pinggiran kota Jakarta.
Kafe itu menjadi tempat memori yang membuat perempuan yang aktif di tabloid sekolah ini tak pernah menyentuh cappuccino. Memori yang membawanya berevolusi menjadi perempuan pencinta black coffe (halaman 40). Karena dia merasa hidupnya bagaikan warna kopi yang hitam pekat.
Sebetulnya Sekar telah menemukan sosok pria yang dapat menghapus bayang-bayang Rama. Namun, saat Sekar membuka harapan itu kepada salah satu pelayan kafe favoritnya. Pria itu pun keburu meninggalkannya sebelum Sekar menyatakan isi hatinya.
Akhirnya, Sekar pun merasakan kesunyian itu datang kembali menghampirinya. Lagi-lagi di kafe itu, ia kehilangan sosok pria yang dapat menghibur kesedihannya. Pria yang dapat menghapus bayangan Rama dalam hidupnya. Namun, itulah perjalanan hidup, terkadang yang kita harapkan itu belum tentu yang terbaik untuk kita. Dan Sekar harus merasakan kesunyian itu kembali menghampiri hidupnya.
Pada bagian “Rindu & Memori (Sekar & Rama)”, dikisahkan Sekar terkapar di rumah sakit. Yang lebih menyedihkan adalah dia mengalami hilang ingatan. Padahal, Sekar sangat menjaga memori itu agar terus berputar disela-sela kerinduannya terhadap cintanya. Namun memori indah yang dijaga selama ini hilang begitu saja. Terkait dengan masalah rindu, terdapat kalimat yang menarik untuk disimak. “Partikel kerinduan ternyata bukan hanya datang karena kita mengingat memori. Tapi juga datang karena kita menyadari memori yang kita miliki sudah hilang.” (halaman 116-117).
 

Sekar terkaget-kaget saat melihat orang-orang asing yang menangis di sekelilingnya. Terutama sosok pria yang menyapa pertama kali, saat Sekar membuka kelopak matanya. Tak ada memori yang tersisa, dia tak mampu mengingat apapun sejak saat itu (halaman 110).
Saat detik-detik terakhir, Sekar mengatakan bahwa memori tetap menjadi sebuah memori. Memori akan selalu membawa kita untuk merasakan rindu. Tapi, jangan jadikan kerinduan ini melumpuhkan kita. Maka, teruslah berjalan tanpa menghalangi jalan yang sama. (halaman 134).
Pada bagian  “Surat Kecil dari Buda (Bunda Sekar)” barulah dapat diketahui bahwa Sekar mengalami koma dan hilang ingatan disebabkan kecelakaan. Ayah bilang bunda harus kuat. Karena kamu (Sekar) juga kuat. Kamu pasrah menghadapinya, dan kepasrahanmu menjadi obat penahan sakitmu. Itulah surat curahan hati Ibunda Sekar saat merasakan kerinduan atas kepergian Sekar ke Haribaan-Nya.
Novel ini cocok dibaca oleh para remaja yang hendak mengetahui makna persahabatan, rindu dan cinta. Tiga kata itu menjadi kunci dalam cerita novel yang ditulis oleh Laila Nurazizah. Selain itu, di dalamnya penuh dengan romansa percintaan remaja. Tapi juga diselingi dengan lika-likunya yang akan membawa kita ke dalam hipnotis dan menimbulkan rasa terharu yang sangat luar biasa. Jadi, walaupun sudah berkali-kali membaca novel ini akan menghanyutkan perasaan kita pada ambang keterharuan dan kesedihan.
Selain dengan alur cerita yang apik dan menawan, pembaca juga akan mendapatkan VCD Sountrack Novel Memorabilia secara gratis saat membeli buku ini. Jadi, akan menambah penghayatan kita dalam membaca novel ini sambil mendengarkan lagu-lagu yang indah.

vkumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbarukumpulan resensi novel terbaru