Kumpulan hikayat
lengkap dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik
Hikayat Panji Semirang
Pemegang peranan:
1. Raden Inu Kertapati: putra Raja
Kuripan (Kahuripan) yang dipertunangkan dengan putri sulungnya Raja Daha, putri
pamannya, Galuh Cendra Kirana. Pertunangannya menemui kesulitankesulitan karena
Galuh Ajeng, anak selir Ratu Daha yang ke-2, Paduka Liku, menaruh hati juga
kepada Raden Inu.
2.
Galuh Cendra Kirana: karena iri hati adiknya, ia meninggalkan istana dengan
Maha Dewi, ibu tirinya. Ia menyamar sebagai seorang laki-laki dengan nama
samaran Panji Semirang. Setelah menghadapi ujian berat, bertemu jugalah ia
dengan tunangannya, Raden Inu, yang diakhiri dengan perkawinan.
3.
Galuh Ajeng: Putri Paduka Liku, selir Ratu Daha yang ke-2. Ia dengan ibunya
berhasil merampas tunangan kakaknya. Dalam perkawinan ia menemui ketidakpuasan,
karena selalu dikesampingkan dan sama sekali tak dihiraukan oleh suami
rampasannya, Raden Inu Kertapati.
Riwayat:
Kata yang empunya cerita,
tersebutlah perkataan di dalam Kayangan hendak membuat lelakon, supaya menjadi
cerita, karena pada tatkala itu alam dunia pun belum ramai dan belum begitu
banyak manusia, bermufakatlah penduduk Kayangan hendak turun ke dalam dunia,
supaya menjadi panjang lelakon ceritanya. Setelah bermufakat itu lalu
masing-masing menjelma dan turunlah ke dalam dunia. Setengah di antara mereka
itu masuk ke dalam empat orang ratu, yaitu Ratu Kuripan, Ratu Daha, dan Ratu
Gegeleng dan ke dalam tuan Putri Beko Gandasari di Gunung Wilis, yang sedang
duduk bertapa di situ.
Jalan cerita:
Dua
buah kerajaan dari dua orang kakak beradik, Ratu Daha dan Ratu Kuripan
merupakan dua hal jauh berbeda. Ratu Daha saudara yang tertua, ialah seorang
tokoh manusia yang tidak teguh pendiriannya. Setiap kali ia dapat mengubah pendiriannya,
karena hasutan selirnya Paduka Liku, ibu Galuh Ajeng. Apalagi setelah ibu
Cendra Kirana meninggal dunia, karena tapai beracun yang diberikan Paduka Liku.
Untuk mendinginkan kemarahan raja. Paduka Liku mencarikan guna-guna, sehingga
kasih raja berpindah kepadanya. Galuh Ajeng dimanjakan. Dalam semua hal ia
ingin didahulukan. Adiknya, Raja Kuripan, merupakan seorang tokoh yang
berhatihati dalam segala tindakannya. Tak putus dari berpikir panjang lebar
sebelum ia berbuat sesuatu. Putranya hanya seorang yaitu Raden Inu Kertapati,
yang akan dipertunangkan dengan putri saudaranya, Galuh Cendra Kirana.
Saudaranya yang lain adalah Ratu Gageleng. Ia berputra seorang pula, Raden
Singa Menteri, yang suka dipuji dan disanjung.
Segala-galanya
akan diberinya asal ia dipuji sebagai seorang yang tampan dan gagah, yang
melebihi orang lain. Saudaranya yang seorang lagi ialah Biku Gandasari, seorang
perempuan, menyisihkan diri dari keduniawian dan bertapa di Gunung Wilis. Pada
suatu seketika, Raden Inu mengirimkan dua buah boneka. Sebuah dari pada emas
yang dibungkus dengan kain biasa, sedang yang lain daripada perak, tetapi
dibungkus dengan kain sutera yang mahal harganya. Tentulah Galuh Ajeng yang
dapat memilih lebih dahulu dan tentu pula ia akan memilih apa yang terbungkus
dengan kain sutera itu.
Setelah
ia mengetahui, bahwa boneka Cendra Kirana terbuat dari pada emas ia merajuk
kepada ibu dan ayahnya untuk ditukar. Tetapi bagaimanapun juga ayah memaksanya,
namun boneka emas itu tak juga diserahkan oleh Galuh Cendra Kirana. Kemarahan
ayahnya timbul, sehingga rambut Galuh Cendra Kirana diguntingnya. Sejak itulah
ia merasa, bahwa hidup di istana merupakan hidup di bara api. Apalagi sudah
ternyata, bahwa ayahnya telah membencinya. Pada suatu malam ia melarikan diri dengan
ibu tirinya, selir raja yang pertama, Mahadewi, bersama-sama dengan dua orang
pengiringnya Ken Bayan Ken Sengit. Di daerah antara perjalanan Daha dan Kuripan
ia mendirikan sebuah keraton, sedang namanya diubah dengan Panji Semirang
Asmarantaka. Begitu juga dengan dua pengiringnya menyamar pula sebagai orang
laki-laki dan namanya pun berubah. Ken Bayan dengan Kuda Perwira sedang Ken
Sengit dengan Kuda Peranca.
Kerajaan
baru itu makin besar, karena keberanian kedua orang pengiring Panji Semirang
yang merampas harta benda orang yang lalu di situ. Utusan Raja Kuripan ke Daha
dapat pula dikalahkan, sehingga Raden Inu sendirilah yang datang untuk menuntut
balas. Tetapi apa yang terjadi? Setelah Raden Inu melihat wajah Panji Semirang,
ia terpesona dan tak kuasa pula untuk menuntut balas. Malahan terjadi suatu
persahabatan. Dengan demikian, Raden Inu dapat meneruskan perjalanannya ke Daha
untuk melangsungkan perkawinannya dengan Galuh Cendra Kirana. Bukan kesenangan
dan kegembiraan, tetapi penyesalan dan kekecewaan yang didapatinya di Daha,
karena Galuh Cendra Kirana sudah tak ada di sana. Walaupun demikian perkawinan
itu dilangsungkan juga dengan Galuh Ajeng, karena permintaan yang keras dari
ibunya, Paduka Liku, kepada Ratu Daha. Perkawinan itu tidak membawa kebahagiaan
kedua belah pihak, karena tak ada benih cinta dan senang yang tertanam di
dalamnya. Malahan Raden Inu mulai curiga, bahwa Panji Semirang itu ialah
kekasihnya, Galuh Cendra Kirana. Daha ditinggalkannya untuk menyusul Panji
Semirang di kerajaan baru itu bersama-sama dengan 3 orang pengiringnya: Jeruje
Kartala, Persanta, dan Punta.
Kekecewaan
yang kedua tak dapat pula ditolaknya. Kerajaan baru itu sudah kosong. Panji
Semirang dengan pengiring-pengiring-nya telah meninggalkan tempat itu menuju
Gunung Wilis, tempat pertapaan bibinya. Raden Inu hanya mendapatkan Mahadewi,
yang tidak dibawa dalam perjalanan pindah karena sudah tua. Ia didapatinya
sedang menangis. Perkataannya yang keluar mengatakan, bahwa Panji Semirang
memanglah Galuh Cendra Kirana, putri Ratu Daha. Setelah Mahadewi diantarkan ke
Daha kembali, berangkatlah Raden Inu menyusul kekasihnya dengan nama samaran
Panji Jayeng Kesuma. Dalam perjalanannya Panji Semirang meninggalkan pakaian
lakilakinya. Puspa Juwita dan Puspa Sari, kedua putri pemberian Raja Mentawan
yang kalah perang terkejut. Mereka baru mengetahui, bahwa Panji Semirang adalah
seorang perempuan. Setelah merintis hutan dan gunung sampailah mereka ke
pertapaan Biku Gandasari di Gunung Wilis. Mereka disambut dengan ramah tamah.
Beberapa hari mereka tinggal di pertapaan itu. Pada suatu hari Biku Gandasari
menyampaikan kata kepada kemenakannya, bahkan cita-citanya akan sampai juga
kalau ia pada hari itu berangkat meninggalkan pertapaannya dan menyamar sebagai
seorang gambuh (= penari) Panji Semirang dan pengiringnya mengenakan pakaian
laki-laki lagi. Galuh Cendra Kirana mengubah namanya lagi dengan Gambuh Warga
Asmara.
Banyak
sudah negeri yang didatangi dan di mana-mana Gambuh mendapat sambutan yang
hangat. Akhirnya sampailah mereka ke Gageleng, kerajaan pamannya. Di daerah itu
mereka mempertunjukkan kegambuhannya. Dalam perjalanannya Raden Inu atau Panji
Jayeng Kesuma sudah beberapa hari tinggal di kerajaan Gageleng. Raden Inulah
yang menambah menggilakan Raden Singa Menteri yang gila sanjung dan dipuji itu.
Banyak pegawai istana yang beruntung karena hadiah Raden Singa Menteri karena
pujian-pujian, bahwa ia lebih gagah dan tampan dari pada Raden Inu, sepupunya.
Dari
pengiring-pengiringnya Raden Inu mendengar, bahwa Gambuh Warga Asmara baik
sekali bermain. Mereka minta, agar gambuh itu dapat pula bermain di istana.
Rupa Gambuh Warga Asmara menerbitkan prasangka lagi pada Raden Inu. Dalam
hatinya ia menyatakan bahwa Gambuh itu Panji Semirang. Tetapi beberapa kali
dinya-takan Gambuh Warga Asmara tetap menjawab, bahwa ia tidak kenal kepada
Panji Semirang.
Walaupun
demikian tak putus-putus Raden Inu untuk mengamatamati Gambuh itu. Rahasia itu
lama-lama terbuka juga. Tiap-tiap malam sebelum tidur, boneka emas, pemberian
Raden Inu dahulu, selalu ditimang-timang dan dibelai-belai dengan rasa kasih
sayang. Pada suatu malam Raden Inu dapat melihat hal itu dalam intaiannya.
Dengan tiada menanti lagi dipeluknya Gambuh itu, yang tiada lain daripada
Cendra Kirana yang telah lama dikejar-kejar dan dicari-carinya. Perkawinannya
dilangsungkan di Kerajaan Kuripan. Dalam perkawinan itu diundang juga Ratu
Gageleng dan Raja Daha beserta Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Galuh Ajeng
menangis pula dengkinya, karena istri Raden Inu Kertapati tiada lain, selain
Galuh Cendra Kirana. Akhirnya ia dikawinkan dengan Raden Singa Menteri, putra
Raja Gageleng, yang gila puji itu dan sanjung itu.
Paduka
Liku sudah tidak menjadi impian dan kekasih Raja Daha lagi, karena kekuatan
guna-gunanya sudah luntur. Mahadewilah yang diangkat menjadi permaisuri.
Selanjutnya tampuk pimpinan Kerajaan Kuripan dan Daha dikendalikan oleh Raden
Inu Kertapati bersama-sama dengan permaisurinya Galuh Cendra Kirana.
Membangun
Negara
MERESMIKAN
berdirinya suatu kerajaan baru tiadalah sukar. Dengan beberapa patah kata,
dengan pengumuman ringkas, orang bisa lekas tahu. Janji bisa lekas dilupakan
orang jika tanpa bukti, tanpa ujud yang dapat dirasakan adanya.
Membangun, memajukan dan mempertahankan kedaulatan Negara merupakan tugas yang
maha berat bagi Panji Semirang. Hal itu disadari benar olehnya dan berkat
dorongan kemauan yang kuat, segala sesuatunya berjalan baik juga.
Tampak dua orang penjaga pintu gerbang. Elok paras mukanya. Galak-galak sorot
matanya. Langkahnya gagah seperti pahlawan yang tak kenal takut.
Itulah
Ken Bayan dan Ken Sanggit, dayang-dayang yang berpakaian pria dan berganti nama
pula. Yang seorang bernama Kuda Perwira dan yang seorang lagi dipanggilkan Kuda
Peranca.
Tugas mereka berat. Mereka harus mencegah orang-orang yang lewat, baik yang
datang dari arah Kuripan menuju Daha, maupun sebaliknya. Hanya orang-orang
Gagelang dibolehkan terus berjalan tetapi yang lain harus dipaksa menghadap
Panji Semirang. Kuda Peranca matanya beringas melihat serombongan pedagang yang
hendak lalu. Ujung kumis palsu dipelintir, supaya kelihatan bertambah bengis.
Tangan kiri memegang tombak. Tangan kanan bertolak pinggang. Berjalan gagah
seperti juara silat. Pangkal tombak ditumbukkan
ke tanah. Mulut membentak, “Berhenti!” Para pedagang kecil hatinya melihat
tingkah laku Kuda Peranca, lalu berhenti berjalan.
“Kalian dari mana ? Mau ke mana ?”
“Kami dari Gegelang,” jawab seorang kepala rombongan pedagang.
“Semua dari Gagelang ?”
“Betul! Kami hendak berdagang.”
“Hem! Dari Gagelang !” Kuda Peranca berkata sendirian sambil menatap
pedagang-pedagang itu seorang demi seorang. Tangan memelintir ujung kumis
palsu.
“Kabarkan kepada orang-orang di negeri kalian tentang negeri kami. Raja kami
ialah Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Raja gagah perkasa tapi adil.”
Demikian perintah Kuda Peranca kepada pedagang-pedagang itu. Maksudnya agar
supaya nama Panji Semirang dikenal orang di mana-mana.
“Baik Raden!” sahut para pedagang itu serentak.
”Kalian boleh lewat,” kata Kuda Peranca.
Kemudian berjalanlah rombongan pedagang itu dengan hati lega, diikuti oleh
pandangan mata Kuda Perwira dan Kuda Peranca.
Selang beberapa jam sesudah itu, tampak pula serombongan orang yang hendak
lalu. Kuda Peranca dan Kuda Perwira bersiap-siap hendak menegur bersama-sama.
Sebab orang-orang yang hendak lewat itu agak besar jumlahnya.
“Berhenti !” teriak Kuda Peranca dan Kuda Perwira dengan suara lantang.
“Kalian dari mana ? Mau ke mana ?”
“Kami dari negeri Mentawan. Kami hendak pergi ke negeri Kuripan, Raden,” sahut
kepala rombongan.
“O, dari negeri Mentawan? Apa maksud kalian ke Kuripan?” tegur Kuda Peranca.
“Macam-macam Raden. Ada yang hendak berdagang, ada yang hendak menjual tenaga
atau ada juga yang hendak menyelenggarakan tontonan. Seperti lais, ronggeng,
debus, sunglap, dan macam-macam lagi pertunjukan.”
Jadi kalian semua dari negeri Mentawan ?” Kuda Perwira minta ketegasan sekali
lagi.
“Betul, Raden.”
Kuda Peranca dan Kuda Perwira saling memandang. Kemudian Kuda Perwira berkata, “Kalian
dilarang meneruskan perjalanan ke Kuripan. Kalian mesti ikut kami menghadap Sri
Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Raja adil dan budiman. Di negeri kami,
kalian boleh mencari nafkah hidup. Sumber penghidupan luas terbuka bagi siapa
pun.”
Kuda Perwira berhenti berbicara. Memandang muka para pedagang yang tampak tidak
setuju dan agak kesal hatinya. Mereka merasa dibegal dan bakal menderita rugi.
Berdagang di Kuripan sudah kelihatan untungnya, sebab sudah banyak langganan di
sana. Sedangkan di negeri yang baru itu segala-galanya belum tentu.
”Kami
tidak setuju, Raden ! Kami harus meneruskan perjalanan ke Kuripan. Langganan
menunggu kedatangan kami di sana,” sahut kepala rombongan pedagang. Dan
serentak pula pedagang-pedagang itu bangkit hendak berjalan.
Kuda Peranca marah. Sambil menumbukkan pangkal tombaknya ke tanah ia membentak,
“Siapa-siapa tidak mau menurut perintah, kami tangkap. Yang berani melawan
dengan kekerasan kami bunuh ! Mengerti ?”
“Mengerti, Raden ! Kami menurut saja kehendak Raden.” Demikian sahut
orang-orang dari rombongan kesenian. Maka timbullah perpecahan di antara
orang-orang negeri Mentawan itu. Segolongan menurut dan segolongan yang lain
membangkang.
Enam
orang pedagang yang pemberani, serentak mencabut keris masing-masing. Terus
menyerang Kuda Peranca dan Kuda Perwira. Timbullah pertikaian. Dua lawan enam!
Dengan sigap kedua prajurit itu memainkan tombak masing-masing. Mempertahankan
diri. Tangkai tombak dipegang sama tengah. Dengan cara demikian mereka bisa
memukul penyerang dengan ujung dan pangkal tombak. Tak! Musuh kena pukul
pangkal tombak. Musuh sempoyongan. Cos! Mata tombak ditusukkan ke perut musuh.
Sur! Darah membersit membasahi tanah. Musuh jatuh — mengerang kesakitan —
berdengus-dengus napasnya — akhirnya mati.
Dua
penyerang sudah terang jadi mayat. Yang empat lagi luka-luka berat.
Keenam-enamnya bergeletak di tanah tanpa daya.
Orang-orang
Mentawan itu menjadi takut semua kepada Kuda Perwira dan Kuda Peranca. Mereka
menurut tanpa syarat segala perintah kedua prajurit itu. Kemudian terus
digiring untuk menghadap Sri Baginda Panji Semirang.
Dengan
kata-kata lemah-lembut, dengan sikap yang menarik, Baginda Raja menyampaikan
sabdanya, “Dengan rasa persaudaraan, rakyat kami menyambut kedatangan kalian di
negeri kami. Rakyat kami mengajak kalian bekerja bersama-sama; secara gotong
royong membangun negeri kami sehingga menjadi bertambah makmur. Kehidupan
kalian kami jamin.”
Selanjutnya Sri Baginda memerintahkan rakyat untuk menghibur orang
Mentawan dengan makan minum. Tiap keluarga harus menerima dua tiga orang tamu
di rumah masing-masing. Kemudian secara gotong royong mendirikan perkampungan
baru. Setelah itu mengadakan keramaian di alun-alun.
Orang-orang
Mentawan senang hatinya mendengar sabda Sri Baginda sedemikian. Hilanglah takut
mereka dan timbul rasa persaudaraan dengan rakyat Baginda Raja Panji Semirang.
Lambat laun mereka merasa betah tinggal di negeri baru itu. Dengan sukarela
orang-orang Mentawan menyatakan hendak menjadi rakyat Sri Baginda Panji
Semirang Asmarantaka. Dengan demikian bertambah banyaklah rakyat Sri Baginda.
Keadilan dan kemakmuran yang dijanjikan Sri Baginda menjadi kenyataan, oleh
karena rakyat sendiri patuh dan giat bekerja, rajin usaha; masing-masing
menurut kecakapannya sendiri-sendiri. Barangsiapa merasa belum cakap bekerja
pasti mendapat bimbingan. Barangsiapa menghadapi kesulitan, pasti diberi
pertolongan. Yang sakit, yang papa atau pun cacat dirawat baik-baik. Anak-anak
muda dilatih membuat alat perkakas pertanian dan alat perang. Juga dilatih
menjaga keamanan negeri. Barangsiapa memperlihatkan kecakapan dan kerajinan
bekerja yang luar biasa, pasti dikaruniai hadiah oleh Sri Baginda.
Nama Baginda Panji Semirang semakin harum tersiar ke mana-mana. Semakin banyak
rakvat berasal dari Daha, dari Kuripan, dan dari Mentawan pada pindah ke negara
Panji Semirang. Banyak di antara orang-orang pendatang itu yang hidup makmur
dan beroleh pangkat dalam kerajaan. Ada orang asal Daha menjabat pangkat
menteri, ada orang asal Kuripan menjadi demang atau
temenggung. Tidak sedikit pula orang-orang asal Mentawan yang
menjabat pangkat bupati.
Sementara itu Raja Mentawan bersedih hati, oleh karena rakyat banyak yang
pindah ke negeri Baginda Panji Semirang. Tidak hanya rakyat biasa, melainkan
juga orang-orang berpangkat pada meninggalkan tempat, kemudian menjabat pangkat
di negeri Panji Semirang.
Negeri
Mcntawan semakin lemah, semakin mundur. Raja Mentawan cemas hatinya dan merasa
takut kalau-kalau negerinya akhimya diserang dan dijajah Baginda Panji
Semirang.
Menumt
dugaannya Baginda Panji Semirang itu orangnya jahat, ganas. Badannya tinggi
besar seperti raksasa. Gagah perkasa tanpa tanding.
“Jika
negeriku diserang, rakyatku rusak binasa. Permaisuri dan kedua
putriku pasti menjadi korban juga. Dijadikan seperti barang rampasan.” Demikian
pikir Raja Mentawan. Perasaannya rusuh. Pikirannya kelam kabut. Lebih-lebih
mengingat kepada kedua putrinya, Puspa Juita dan Puspa Sari.
Pada
suatu hari isi keraton Mentawan menjadi gempar. Beratus-ratus orang dari
desa-desa pinggiran, berbondong-bondong menuju ibu kota. Sebab di perbatasan
negeri, tampak pasukan tentara Baginda Panji Semirang. Orang-orang menduga
negeri Mentawan akan diserang musuh yang sangat kuat.
Raja
Mentawan segera mengutus Patih pergi ke perbatasan untuk menyelidiki benar
tidaknya kabar yang disampaikan orang-orang pengungsi itu. Patih
bersama-sama hulubalang dan beberapa prajurit segera berangkat ke perbatasan.
Betul! Dari jauh sudah kelihatan betapa banyak lasykar musuh yang sedang
berkemah di sana. Dengan hati berdebar-debar Patih terus mendapatkan hulubalang
pasukan Panji Semirang dan minta izin hendak menghadap Sri Baginda. Permintaan
Patih diperkenankan. Dengan dihantarkan Hulubalang Kuda Perwira dan Kuda
Peranca, Patih menghadap Sri Baginda Panji Semirang.
Patih terkejut ketika melihat Sri Baginda yang sangat cantik itu. Sungguh di
luar dugaan ! Sebab ia menduga akan berhadapan dengan seorang raja yang serba
kasar tingkah lakunya; yang jahat dan bengis perangainya. Tetapi kiranya ia
berhadapan dengan raja yang gagah perkasa tapi molek cantik. Sangatlah
kagum Patih melihat kecantikan paras Sri Baginda Panji Semirang! Serasa
menghadap sang Dewa Kamajaya dari keindraan.
“Paman
Patih ! Harap Paman sampaikan sembah sujud kami ke hadapan Paduka Sri Baginda
Mentawan. Jika Paduka Raja berkenan hati kami bermaksud hendak menghadap untuk
mengeratkan silaturahmi kami dengan Paduka Raja. Kami menunggu balasan Paduka
Raja, Paman.” Demikian sabda Baginda Panji Semirang.
Bukan
main-main lega hati Patih mendengar sabda Baginda Panji Semirang demikian.
Dengan khidmat Paman Patih bersembah, “Hamba junjung setinggi-tingginya sabda
Paduka. Hamba mohon diri.”
Patih
segera naik kuda. Terus kembali ke istana Mentawan.
Kegemparan
di istana mendadak menjadi reda. Kegelisahan hati segera hilang lenyap, setelah
Patih mempersembahkan berita dari perbatasan itu. Dan segera pula Baginda Raja
menitahkan Patih mengatur segala persiapan untuk menyambut kedatangan tamu
agung Sri Baginda Panji Semirang. Permaisuri, Puspa Juita dan Puspa Sari
berpeluk-pelukan, tertawa-tawa oleh karena hatinya terlalu girang. Girang oleh
karena mereka tidak jadi diancam malapetaka, tetapi sebaliknya bakal mendapat
kehormatan menerima kunjungan muhibah Sri Baginda Panji Semirang yang sudah
masyhur namanya itu.
Tak
lama kemudian kedengaranlah suara gamelan dan macam-macam bunyi-bunyian,
pertanda tamu agung beserta pengiringnya sudah tiba. Dan kedengaran pulalah
sorak sorai rakyat Mentawan yang menyambut tamu agung itu sepanjang jalan.
Rakyat
Mentawan berdesak-desakan, berjejal-jejal, karena ingin jelas melihat Sri
Baginda yang masyhur karena cantik dan gagah perkasanya itu; yang dikabarkan
sebagai penjelmaan Dewa Kamajaya itu.
Raden
Panji nan cantik jelita, naik kuda berwarna putih bersih. Menyambut rakyat
Mentawan dengan senyum manis. Senyum mesra, tanpa dibuat-buat ke luar dari
kalbu bersih sang Nata.
Banyak
gadis lupa akan tunangan, karena hati terpikat Raden Panji. Mata memandang
tanpa kedip, mulut ternganga lebar. Jantung berdebar-debar, kaki tak berasa
capek mengikuti Sri Baginda yang naik kuda. Nenek-nenek lupa akan rambut sudah
putih, bertingkah seperti gadis remaja. Hendak berlari menyongsong Baginda
jelita, tapi kaki kaku tak mau diajak cepat-cepat melangkah. Tinggallah nenek
berdiri sendirian, seperti orang-orangan di tengah sawah. Jika kakek
tidak menyeret pulang, maulah nenek menunggu sampai Sri Baginda nanti kembali.
Jika
nenek melihat cermin barulah ia sadar, bahwa masa muda sudah lama meninggalkan
dia.
Permaisuri
mentawan dan kedua putrinya berdiri tertegun. Matanya terbelalak seperti mata
belalang melihat Sri Baginda Raja Panji Semirang masuk istana, terus menyembah
dengan hormatnya di hadapan Sri Baginda Raja Mentawan. Istana sunyi senyap,
orang-orang mulutnya bungkam, berdiri seperti patung-patung; seperti dikuasai
tenung.
Tutur
kata, gerak-gerik Sri Baginda Panji Semirang sangat menarik perhatian
orang-orang Mentawan.
Selesai
bersantap sambil beramah-tamah, Panji Semirang mohon diri. Lalu menitahkan
bersiap-siap untuk meninggalkan negeri Mentawan. Kunjungan muhibah Sri Baginda
Panji Semirang sesungguhnyalah meninggalkan kesan baik yang takkan mudah
dilupakan oleh rakyat Mentawan.
Untuk
menambah eratnya hubungan persaudaraan, Puspa Juita dan Puspa Sari diizinkan
ayahanda Raja untuk turut serta dengan Sri Baginda Panji Semirang ke negerinya.
Untuk melayani kedua putri itu, dua emban turut pula, yaitu Ken Pamonang dan
Ken Pasirian.
Hari
malam ketika Baginda Panji Semirang masuk istana. Mahadewi menyambut dengan
senang gembira kedatangan Panji Semirang. Setelah bercakap-cakap sejenak dengan
Mahadewi, Panji Semirang pergi bersiram dengan air kembang yang harum baunya.
Pakaian prianya ditanggalkan, rambutnya diurai, lalu bersiram dan berlangir.
Baginda Panji Semirang beralih rupa kembali menjadi Galuh Cendera Kirana.
Dalam
bilik tertutup, di malam sunyi, Cendera Kirana menyepi seorang diri. Putri ayu
hendak melepaskan pikiran dari segala kesibukan kerja sebagai raja — ingin
kembali menjadi manusia biasa sepanjang malam — ingin menurutkan bisikan hati
yang rindu kepada Raden Inu Kartapati di Kuripan. Sambil berbaring di atas
tilam empuk yang beralaskan kain sutera indah, Cendera Kirana mencium boneka
emasnya. Anak-anakan itu ditimang-timang, didendangkan
nyanyian-nyanyian merdu, dipeluk, didekap, diajak berbicara. Semua isi hati
dicurahkan Cendera Kirana kepada boneka kencana. Legalah hati Kirana. Kemudian
hanya napasnya jugalah yang sayup-sayup sampai kedengaran dalam bilik itu.
Putri ayu mengembara di alam mimpi.***
Hikayat Panji Semirang
Sinopsis
Alkisah pada zaman dahulu hiduplah seorang raja di Tanah
Jawa yangmerupakan empat bersaudara. Yang tua menjadi raja di Kuripan, yang
mudamenjadi raja di Daha, yang tengah menjadi raja di Gegelang, dan yang
bungsumenjadi rajadi Singasari. Empat orang bersaudara itu sangat menyayangi
satusama lain. Negeri tempat mereka tinggal sangat ramai dan termasyur. Banyakpedagang asing yang masuk untuk
berniaga di dalam negeri itu.Bermula dari
seseorang yang bernama Nata Kuripan dengan selirnya yangbernama Paduka
Mahadewi. Mereka memiliki anak laki-laki yang sangat tampanrupanya. Dari
wajahnya sudah terlihat jejak-jejak keagungan dari ayahnya. Maka,diberinyalah
inang pengasuh serta tanah di Karang Banjar Ketapang. Orang-orangmenyebut anak tersebut dengan sebutan Raden
Banjar Ketapang.Permaisuri Kuripan yang mengetahui itu, juga ingin
mempunyai anak laki-lakiyang baik parasnya. Ia pun mendiskusikannya dengan
suaminya. Setelah beberapalama, mereka
memutuskan untuk menyembah segala dewa-dewa selama 40 hari40 malam agar keinginannya dikabulkan.
Unsur-Unsur
Intrinsik Tema
Silsilah Panji Semirang
Latar
Suasana
Bahagia
( Terlalu amat berkasih-kasihan empat bersaudara,…)
Latar Waktu
Zaman dahulu
( Sebermula pada zaman dahulu kala ada raja di Tanah
Jawa empat bersaudra……)
Latar Tempat
•
Tanah Jawa
( Sebermula pada zaman dahulu kala ada raja di Tanah
Jawaempat bersaudra,……)
•
Kuripan
( Yang tua menjadi ratu di Kuripan)
•
Daha
( yang tengah menjadi ratu di Daha)
•
Gegelang
(
yang bungsu menjadi ratu di Gegelang)
•
Karang Banjar Ketapang
(
…, maka dipungutkan inang pengasuh dengansepertinya
dan diberi pekarangan oleh Baginda di Karang Banjar Ketapang.
“IBNU HASAN”
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya
hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap
negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang
terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir
miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit,
mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang,
karena itu banyak pengikutnya.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki
seorang anak, laki-laki yang sangat tampan, pendiam, dan baik budi, berusia
sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang
senang melihatnya, apalagi orang tuanya, namun demikian anak itu, tidak sombong,
perilakunya kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak kekurangan sandang,
namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah kedua orang tuanya sangat
menyayanginya.
Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku,
menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimirkai
Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu
yang bermanfaat.”
Dipanggilnya putranya. Anak itu segera
mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaji,
katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke
Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”
Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu,
jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan kematianpun hamba jalani, semua
kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang malam hanya
perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat
kepesantren, berpisah dengan kedua orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya
tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah dengan putranya, yang masih
sangat kecil, belum cukup usia.
“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat
merantau, pandai-pandailah menjaga diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu
ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih
dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu
perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan
ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau
orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan
menganggap enteng segala hal.”
Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang
Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati, doakanah aku agar
selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan Ibu akan
kuperhatikan, siang dan malam.”
Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat
dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan Mairun,mereka berangkat
berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian, sementara Mairin
mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan,
selama perjalanan yang makan waktu berhari-hari namun akhirnya sampai juga
dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat do’a Ayah dan Ibunda,
selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan
sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari
sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang
sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!”
yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”
“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat
belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap
yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan
aturan.”
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan
tersebut, betapa girang hatinya, di segera
pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna
mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”
Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin
mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba
ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari
ilmu.
Memang sangkaan orang begitu karena ayahku
kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknyapun banyak, hamba tidak usah
bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan
sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah menunggal dunia, semua
hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak
teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata
kalau hamba ini bodoh.
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang
kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya
hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak
melebihiorang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua, dan tidak akan
melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.”
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.
UNSUR INSTRINSIK
Ø Tema : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya
Ø Tokoh :
o
Ibnu
Hasan
o
Syekh
Hasan
o
Ibu
Ibnu Hasan
o
Mairin
o
Mairun
o
Saleh
o
Kyai
guru
Ø Penokohan
:
o
Ibnu
Hasan = Baik, tidak sombong, kalem, pendiam, penurut
o
Syekh
Hasan = Baik, Bijaksan, Penyayang
o
Ibu
Ibnu Hasan = Baik, Penyayang
o
Mairin
dan Mairum = Setia
o
Saleh
= Sopan
o
Kyai
guru = Baik
Ø Plot/Alur
: Alur Maju
Ø Latar
:
o
Latar
tempat = Negeri Bagdad, Mesir, Pesantren
o
Latar
waktu = Zaman dahulu kala, Saat ba’da Dzuhur
o
Latar
suasan = Mengahrukan, sedih, Prihatin
Ø Sudut
pandang : Orang ketiga tunggal
Ø Amanat
: Patuhlah kepda kedua orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan
janganlah sekali-kali engkau menyombongkan diri.
UNSUR INSTRINSIK
Ø Agama
: Menganut agama Islam
Ø Pendidikan
: Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru
Ø Adat
istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll
Ø Status
ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.
Hikayat
“Si
Miskin”
Karena
sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang
dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal
sebagai si Miskin.
Si
Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan
mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan
Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh
penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga
bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah
si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di
hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika
isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman
raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu,
tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin,
“Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu.
Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si
Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang
lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh
ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah
diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan
tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah
genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama
Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Ketika
menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal,
didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk
berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ
sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.
Si
Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan
Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian,
lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja
Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa
Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah
Berantah.
Ketika
Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya
ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas
bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan
bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka
saja bagi orangtuanya.
Ramalan
palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan
hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya
itu.
Tidak
lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah
terbakar.
Sesampai
di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin.
Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena
disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke
laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari
Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan
bernama Mayang Mengurai.
Akan
nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di
pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah
gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai,
dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan
diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat
raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada
Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan
oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian,
ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah
perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung
Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian,
Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga.
Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah
dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara
suami-isteri itu.
Karena
cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang
puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah
bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang
jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya,
Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan
kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala
perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri
Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja
Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya,
Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu
Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi
raja di Palinggam Cahaya.
Unsur Intrinsik dalam hikayat Si Miskin
1. Tema : Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan
hidup seseorang yang mengalami banyak rintangan dan cobaan.
2. Alur :
Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari awal
permasalahan sampai akhir permasalahan.
3. Setting/
Latar :
¯ -Setting Tempat : Negeri Antah
Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan, Tepi Pantai Pulau Raksasa,
Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.
¯ Setting Suasana : tegang,
mencekam dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan
4. Sudut
Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.
5. Amanat :
¯ Seorang
pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.
¯ Janganlah
mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.
¯ Hadapilah
semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah hati.
¯ Jangan
memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.
¯ Hendaknya
kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.
¯ Janganlah
kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.
¯ Hidup dan
kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya
dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.
Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si Miskin
1.
Nilai Moral
Kita
harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.
Jangan
kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.
2.
Nilai Budaya
Sebagai
seorang anak kita harus menghormati orangtua.
Hendaknya
seorang anak dapat berbakti pada orang tua.
3.
Nilai Sosial
Kita
harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan
tanpa rasa pamrih.
Hendaknya
kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.
4.
Nilai Religius
Jangan
mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
Percayalah
pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.
5.
Nilai Pendidikan
Kita
harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan
tanpa rasa pamrih.
Jangan
mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
“PERKARA
SI BUNGKUK DAN SI PANJANG”
Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:
Hatta maka berapa
lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya
dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan.
Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak
menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang
lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun
berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang
itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua,
lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam
juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"
Maka ada pula seorang
Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan
hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat
berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar
oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya,
maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya,
"Untunglah sekali ini!"
Maka Bedawi itu pun
turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia
berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu,
"Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu,
"Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang
juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam."
Maka kata orang tua itu
kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah
perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi
itu, "Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba
seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu.
Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu.
Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk
air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi
itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan
mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga
tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit,
hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan
itu.
Maka kata perempuan itu
kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
Maka apabila sampailah
ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka
makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya
dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi
itu.
Kalakian maka heranlah
orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya.
Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka
ia pun berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang
demikian ini, baiklah aku mati."
Setelah itu maka
terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai
itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi
itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat
Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun
datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh
Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan
perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"
Maka kata Bedawi itu,
"Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah
besar dinikahkan dengan hamba."
Maka kata orang tua
itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."
Maka dengan demikian
jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun,
datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada
perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang
laki-laki ini?"
Maka kata perempuan
celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5)
Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya
berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah
laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka
kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata
Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa
mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab
oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah
itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata
benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu,
"Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu
sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka
Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini,
siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung
tempat ia duduk?"
Maka tiadalah terjawab
oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi
itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk,
"Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua
itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk
dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan
kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi
itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka
itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan
celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi
ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah
masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Unsur Intrinsik dan
ekstrinsik HIKAYAT
Judul
: Hikayat Mashudulhakk (perkara si bungkuk dan si panjang)
Unsur intrinsik :
·
Tema
: Kesetiaan dan Pengkhianatan dalam Cinta
·
Tokoh :
ü Masyhudulhakk :
arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.
ú …Masyhudulhakk
pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu.
ú Maka
bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
ú …..Maka
pikirlah 5) Masyhudulhakk,"Baik kepada seorang-seorang aku bertanya,
supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
ü Si Bungkuk :
setia pada istrinya, suka mengalah, mudah percaya.
ú Maka kata orang
tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.
ú Maka Bedawi itu
pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga
ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua
itu, "Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini.
ú Maka kata orang
tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka
turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu.
ü Si Panjang /
Bedawi : licik, egois.
ú Setelah
didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan
itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam
hatinya, "Untunglah sekali ini!
ú Maka kata
Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula
perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.
ü Istri Si
Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.
ú hamba jadikan
istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.Maka kata
perempuan itu kepadanya, "Baiklah.
ú ….maka
diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang
itulah suami hamba.
·
Setting :
ü tempat :
ú tepi sungai :
Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.
ú Sungai :
turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu
ü Suasana :
ú menegangkan:
Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.
ú
Mengecewakan: "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah
aku mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu.
ú Membingungkan:
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah.
ü Waktu : tidak
diketahui
·
Alur : Alur maju
ü
Eksposisi :
Mashudulhakk arif
bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit maka berapa
lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya
dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan.
Maka sampailah ia kepada suatu sungai.
ü Complication
:
….serta
dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan
berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!
ü Rising
action :
Maka sampailah kepada
pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan
tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan
orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar
supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba."
ü Turning point :
Maka orang tua itu pun
datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh
Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan
perempuan itu. Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya,
supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
ü
Ending
:
Masyhudulhakk dengan
sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang
tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan
celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan
celaka itu seratus kali.
·
Poin of View :
ü orang ke-3 :
Maka bertambah-tambah
masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
·
Amanat :
ü Jangan
berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan
menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri
ü Bantulah dengan
ikhlas orang yang membutuhkan bantuan
ü Syukurilah
jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita
ü Jangan
mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya
ü Jadilah orang
yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah
Unsur ekstrinsik :
·
Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan
oleh Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang tidak kita miliki karena
apa yang te;ah diberikan Allah kepada kita adalah sesuatu yang memang terbaik
untuk kita. Janagn seperti yang ada pada hikayat mashudulhakk.
·
Nilai moral :
Janganlah
sekali-kali kita memutar
balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah itu benar dansebaliknya, karena
bagaimanapun juga kebenaran akan mengalahkan ketidak benaran.
·
Nilai social budaya :
Sebuah kesalahan
pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini diterangkan bahwa
seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka akan did era sebanyak
seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan
perempuan celaka itu seratus kali.)
·
Kepengarangan :
Hikayat mashudulhakk
ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan diubah di
sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F. v.d. Wall
(menurut naskah yang lain dalam kumpulan yang tersebut).Dalam Volksalmanak
Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan
dan sambungannya dimuat pula, dengan alamat "Masyudhak".. Dinantinya.
Hikayat hang tuah dan
unsur intrisik
Hikayat Hang Tuah
Pada
suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud.
Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai
Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua
rakyatnya. Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada
istrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar
itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan
agar lebih mudah mencari pekerjaan.” luginaugi.wordpress.com Lalu pada
malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di
atas kepala Hang Tuah. Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta
menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang
harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya.
Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan dan
melulurkan anaknya. Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat
kepala serba putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan
telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk
Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu. Lalu kata Hang Mahmud
kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main
jauh-jauh.” Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk
persediaan. Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang
mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan
diri ke kampong. Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana.
Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,” Hai, Hang
Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?” Maka kata Hang Tuah
sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan
membunuh, ia pun akan mati olehnya.” Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat
bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah sambil menghunuskan kerisnya. Maka
ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas
toko!” Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan
memegang kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke
hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan
mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkan kapaknya ke kepala
orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kata seorang anak
yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”
Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang
Lekir, dan Hang Lekui. Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah.
Hang Jebat dan Hang Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh
pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,”Pemberontak
itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.”
Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang
Tuah. luginaugi.wordpress.com Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan
dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai
lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka
ke hadapan Sang Raja. Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama
para bawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu
menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak
berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-berita itu sudah
lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.” Setelah Sang Baginda
mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa
saja yang telah kalian ketahui?” Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab,
“Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak berani datang, tetapi dia yang
berkuasa itulah yang melakukan hal ini.” Maka Baginda bertitah, “Hai
Tumenggung, katakana saja, kita akan membalasanya.” Maka Tumenggung menjawab,
“Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut,
karena yang melakukan hal itu, tuan sangat menyukainya. Baiklah kalau tuan
percaya pada perkataan saya, karena jika tidak, alangkah buruknya nama baik
hamba, seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu. Setelah Baginda mendengar
kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda bertitah, “Siapakah
orang itu, Sang Hang Tuah kah?” Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang
berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba
memberitahukan hal ini pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba
melihat Sang Tuah sedang berbicara dengan seorang perempuan di istana tuan ini.
Perempuan tersebut bernama Dang Setia. Hamba takut ia melakukan sesuatu pada
perempuan itu, maka hamba dengan dikawal datang untuk mengawasi mereka.”
Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarna merah
padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu, “Pergilah,
singkirkanlah si durhaka itu!” Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi
di dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira
besar, apalagi dia menjadi wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada
di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala Batak dan
orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya
orang itu dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?” Lalu jawabnya,
“Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.” Demikianlah cerita Hikayat Hang Tuah.
Unsur
Intrinsik “Hikayat Hang Tuah”
Tema
: Negeri kerajaan
Alur
: Maju
Tokoh
:
Hang
Tuah
Hang
Mahmud
Dang
Merdu
Sang
raja Bintan
Tumenggung
Perwatakan
:
Hang
Tuah = Baik, bijak, berwibawa
Hang
Mahmud = Baik, Perhatian
Dang
Merdu = Baik, perhatian, lembut
Sang
raja Bintan = Baik , sopan, mudah percaya.
Tumenggung
= Licik, jahat
Latar
:
Tempat
:
Sungai
Duyung
Bintan
Pasar
Istana
Sungai
Perak
Suasana
:
Ramai
Tegang
Sepi
Senang
Waktu
:
Pagi
Malam
Sudut
Pandang : Orang ketiga serba tahu
luginaugi.wordpress.com
Amanat : sebagai pemimpin kita jangan hanya mendengar keterangan dari satu pihak saja, melainkan harus dari kedua pihak yang terlibat masalah.
luginaugi.wordpress.com
Amanat : sebagai pemimpin kita jangan hanya mendengar keterangan dari satu pihak saja, melainkan harus dari kedua pihak yang terlibat masalah.
Hikayat Bunga Kemuning
asal
nama, asal usul, bakti anak, bunga, cerita anak, Cerita Rakyat, iri hati, jahat, kecantikan, kejam, kerajaan, pemalas, saudara 47
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki
sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak
mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal
ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh
inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka
tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering
terjadi di antara mereka.
Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama
warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga,
Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona
dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka.
Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh.
Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, ia tak
terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah
kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh daripada dengan
kakak-kakaknya.
Pada suatu hari, raja
hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. “Aku hendak pergi
jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja.
“Aku ingin perhiasan
yang mahal,” kata Puteri Jambon.
“Aku mau kain sutra
yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang
mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia
berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya.
“Ayah, aku hanya
ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan
mencemoohkannya.
“Anakku, sungguh baik
perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah
indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama
kemudian, raja pun pergi.
kemudian, raja pun pergi.
Selama sang raja
pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak inang
pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti
permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman
istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat
kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai
membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar
dicabutnya, dan dahan-dahan pohon
dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun Puteri
Kuning tetap berkeras mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat
adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita punya pelayan
baru,” kata seorang diantaranya.
“Hai pelayan! Masih
ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman
istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan
menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai
Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan
yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.
“Kalian ini sungguh
keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk kalian. Bisanya
hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah.
“Sudah ah, aku bosan.
Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning
seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang.
Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih bermain di danau,
sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu,
raja menjadi sangat sedih.
Anakku yang rajin dan
baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini,
bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang sudah
mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah
ditemukannya.
“Sudahlah Ayah, tak
mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna
kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut.
“Yang penting, ayah
sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya lagi. Ketika
Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut
mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning,
apalagi menanyakan hadiahnya.
Keesokan hari, Puteri
Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai adikku, bagus benar
kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri
Hijau!” katanya dengan perasaan iri.
“Ayah memberikannya
padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. Mendengarnya, Puteri Hijau
menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut mereka.
“Kalung itu milikku,
namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu
sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul.
Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan
tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal.
“Astaga! Kita harus
menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning,
lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau,
karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada
yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja
sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!”
teriaknya.
Tentu saja tak ada
yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan,
tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah yang buruk,”
katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah
budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di
negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih
memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.
Suatu hari, tumbuhlah
sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. “Tanaman
apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai
kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini
mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!” kata
raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan,
bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya
dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat
orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.