Selasa, 11 Juni 2013

Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC

;2.3 Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC
Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis, Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis mengambilalih Malaka pada tahun 1511[25].
Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai Rendez-vous[26], yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.
Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653 sampai 1678.  Menurut Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan kedudukan selama seperempat abad[27]. Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC mengalami masa keemasannya.
Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan[28] dan kegiatan perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi, VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian tahun 1645[29], akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Perlawanan Hasanudin di Sulawesi Selatan

a. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
Perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di Sulawesi Selatan pada abad-abad
yang lalu sangat dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan itu yang besar pengaruhnya
adalah kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Kerajaan Gowa kemudian bersatu dengan
kerajaan Tallo, terkenal dengan nama kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan Gowa-Tallo ini
bersikap anti Belanda oleh karena Belanda menjalankan politik monopoli perdagangan
rempah-rempah, politik ekstirpasi dan mencampuri urusan penggantian tahta (politik
devide et impera). Di samping itu, Belanda berusaha membatasi pelayaran perahu
pinisi orang-orang Makasar di Maluku. Raja-raja Gowa-Tallo berpendapat, bahwa
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan laut, oleh karena itu siapa pun boleh melayarinya
untuk mencari nafkah. Orang-orang suku Makasar dengan perahu pinisinya melayari
laut-laut di kepulauan Maluku untuk berdagang rempah-rempah.
b. Jalannya Perlawanan
Sultan Hasanudin adalah Sultan Kerajaan Gowa - Tallo. Ia membela kepentingan
kerajaannya, kepentingan rakyatnya dengan mati-matian melawan Belanda. Ia
berusaha menegakkan kedaulatan kerajaannya dan memperluas wilayah kerajaannya.
Maka ia berhadapan dengan Aru Palaka raja Bone yang dibantu oleh Belanda. Dengan
tipu daya, akhirnya Hasanudin dapat dikalahkan dan harus menandatangani
perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667. Dengan demikian perlawanan
Kerajaan Gowa berakhir.
Pada tahun 1776 Kerajaan Gowa bangkit lagi melawan
Belanda. Hal ini juga dilakukan oleh kerajaan Bone, Tanette,
Wajo, dan Suppa. Perlawanan itu dapat ditekan dan hanya
kerajaan Gowa yang mau mengakui kekuasaan Belanda.
Pada tahun 1824, Belanda menyerang Tanette dan
menguasainya, kemudian menyerang Suppa. Ternyata
Belanda mendapat perlawanan keras dari rakyat Suppa
sehingga menderita kekalahan. Belanda mengadakan serangan
kedua yang dibantu oleh pasukan dari Gowa dan Sidenreng.
Menghadapi kekuatan besar, Suppa menderita kekalahan dan
Belanda berhasil menduduki beberapa bentengnya.
Pada bulan Oktober 1824 pasukan Bone dapat
menghancurkan pos-pos Belanda di Pangkajene, Labakang,
dan merebut kembali Tanette. Rajanya dinaikkan tahta kembali dan kemudian Tanette
bergabung dengan Bone. Setelah itu, Bone dapat dihancurkan iring-iringan pasukan
induk Belanda pemimpin Kapten le Cleng yang membawa 173 meriam. Kekuatan
Bone semakin besar dan daerah kekuasaannya semakin luas. Bone merasa
berkewajiban melindungi kerajaan-kerajaan lainnya.
c. Akhir Perlawanan
Kedudukan Belanda di Makasar semakin lemah. Oleh karena itu, Belanda minta
bantuan ke Batavia. Pemerintah kolonial Belanda di Batavia mengirimkan pasukannya
di bawah pimpinan Jenderal Mayor Van Geen. Pada tanggal 5 Februari 1825 Van
Geen mengadakan serangan besar-besaran ke pusat-pusat pertahanan pasukan Bone,
terutama Bulukamba, Suppa, Segeri, Labakang, dan Pangkajene. Pada saat yang
bersamaan, raja Tanette (wanita) berbalik memihak Belanda. Hal ini jelas melemahkan
Bone. Pertempuran terus berkobar dan pasukan Bone bertahan mati-matian. Namun,
karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bone semakin terdesak. Benteng Bone
yang terkuat di Bulukamba dapat dikuasai oleh Belanda. Dengan jatuhnya Bone,
perlawanan rakyat semakin melemah. Namun, pertempuran-pertempuran kecil
masih terus berlangsung hingga awal abad ke-20.


0 komentar:

Posting Komentar